Tulungagung Memilih - Syahri Mulyo, calon bupati yang ikut berkontestasi dalam pilkada Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur adalah tersangka korupsi yang terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Fakta lainnya, hasil quick count lembaga survei pada coblosan pilkada Kabupaten Tulungagung merilis keunggulan Syahri Mulyo dengan suara paling banyak. Kedua fakta ini cukup menggambarkan sebuah fenomena antitesis pilkada berintegritas.
Pasalnya, Nyono Suharli, calon bupati di pilkada Jombang dan Anton, calon Walikota di Pilkada Malang yang juga terkena OTT KPK, memiliki nasib yang berlainan. Dari hasil hitung cepat sementara KPU di infopemilu.kpu.go.id, Nyono dan Anton kalah dari pasangan calon lainnya. Tiga kasus yang sama ini ternyata memiliki hasil pemilu yang berbeda.
Memang, dari sudut pandang pelaksanan pemilu yang sejati (genuine), fenomena Syahri Mulyo semakin menguatkan posisi pemilu demokratis. Pemilu yang rumusannya adalah predictable procedures but unpredictable results telah terpenuhi. Hasil pemilu tidak bisa diprediksikan secara pasti. Rakyatlah yang memiliki kedaulatan untuk menentukan siapa yang dipilih jadi pemimpinnya.
Banyak pihak menyayangkan mengapa Syahri Mulyo tidak bisa diganti pencalonannya pasca terjaring OTT oleh KPK, agar pasangan calon yang ditawarkan kepada publik minimal memiliki rekam jejak yang 'bersih' dari permasalahan hukum. Hanya saja persoalannya tidak semudah itu karena dasar hukum yang digunakan untuk mengganti calon yang ditetapkan sebagai tersangka tidak ada. Selain itu, asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) memberi kesempatan kepada tersangka untuk membela dirinya dari jerat hukum. Sebelum ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), yang bersangkutan belum bisa diputus bersalah atau tidak.
Apalagi dalam konteks pelaksanaan pilkada serentak yang tidak memungkinkan tahapan pilkada terganggu dengan persoalan demikian. Tidak ada ruang dalam election cycle pilkada serentak yang mengantisipasi penggantian calon yang ditetapkan tersangka tindak pidana terlebih mendekati hari-H coblosan. Pasangan calon yang tersisa adalah satu calon dalam paket pasangan calon. Sehingga, mau tidak mau, pemilih harus memilih calon yang ada.
Saut Situmorang, salah satu pimpinan KPK, dalam keterangannya di media massa mengomentari kemenangan Syahri Mulyo dengan pernyataan bahwa operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK tidak ada kaitannya dengan politik. Buktinya, Syahri Mulyo berhasil memenangkan pilkada yang mungkin karena kinerjanya selama lima tahun ke belakang dinilai berhasil oleh masyarakat Tulungangung. Tapi, bagi Saut Situmorang pemimpin tidak cukup hanya berkinerja baik. Pemimpin haruslah juga memiliki integritas yang tinggi.
Selama ini, tuntutan pelaksanaan pilkada berintegritas (electoral integrity) hanya disandarkan kepada penyelenggara pemilu saja. Publik mungkin lupa, pilkada berintegritas tidak mungkin terwujud tanpa kontribusi stakeholder eksternal lainnya. Baik integritas dari peserta pemilu maupun integritas dari pemilih sebagai pemegang tertinggi kedaulatan rakyat.
KPU maupun Bawaslu beserta jajarannya sebagai penyelenggara pemilu telah mereformasi lembaganya demi tuntutan integritas pemilu. Kedua lembaga ini telah berbenah melaksanakan pemilu yang transparan dan akuntabel melalui kebijakan-kebijakan teknis yang dibuatnya. Personel penyelenggara pemilu dijaga sedemikian rupa agar tidak melakukan praktik transaksional dan harus imparsial serta melayani peserta pemilu dengan perlakuan yang sama guna mewujudkan keadilan pemilu (electoral justice).
Di sisi lain, peserta pemilu belum tampak berkontribusi mewujudkan integritas pemilu. Masih ada praktik transaksional, jual beli suara untuk mempengaruhi pilihan pemilih. Meski kemasannya sudah dipercantik dalam bentuk bantuan atau sumbangan, baik berupa sembako maupun uang tunai. Elite politik rupanya belum memiliki kepercayaan diri saat berkontestasi. Baginya, tanpa politik uang susah untuk memenangkan pertarungan. Jika sudah begini, pertandingan gagasan dan rekam jejak pasangan calon tidak jadi hal yang utama untuk dipertimbangan.
Begitu pula sebagian besar pemilih belum turut serta menggaungkan integritas pemilu. Meskipun tidak bermaksud untuk menggeneralisasi, tapi kebanyakan pemilih menunggu serangan fajar sebelum menggunakan hak pilihnya di TPS. Paradigma yang terbangun seperti siapapun pemimpin yang terpilih tidak akan mempengaruhi peningkatan kesejahteraan masyarakat kerap kali mengemuka dalam argumentasi yang mereka bangun.
Pilkada berintegritas akhirnya hanya menjadi slogan saja ketika tiga elemen utama stakeholder pemilu tidak saling berkontribusi sesuai dengan perannya. Terlebih di saat penyelenggaraan pemilu masih ditemukan kasus-kasus electoral fraud, electoral malpractice, dan electoral manipulation yang dilakukan oleh ketiga elemen tersebut. Maka cita-cita pelaksanaan pilkada berintegritas masih jauh panggang dari api.
Tujuan pilkada berintegritas tentu muaranya adalah terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mumpuni. Kepala daerah yang mampu membangun masyarakat dan daerahnya menjadi semakin baik dan sejahtera. Sayangnya, yang kita saksikan sekarang, kepala daerah hasil dari pilkada banyak yang berurusan dengan KPK karena kasus korupsi yang menjeratnya.
Namun, kita juga tidak boleh menutup mata bahwa ada kepala daerah berprestasi dan berhasil memajukan daerahnya. Meskipun, jumlahnya sampai saat ini bisa dihitung dengan jari. Paling tidak ada secercah optimisme bahwa orang-orang dengan rekam jejak yang bersih bisa terpilih menjadi kepala daerah. Dan, itu menjadi tugas kita sebagai pemilih untuk memastikannya.
Gandha Widyo Prabowo alumnus Magister Ilmu Politik Peminatan Tata Kelola Pemilu Universitas Airlangga Surabaya
Tulisan ini pernah dimuat detik.com - Selasa 03 Juli 2018, 15:29 WIB dengan judul 'Tulungagung dan Antitesis Pilkada Berintegritas' https://news.detik.com/kolom/d-4095865/tulungagung-dan-antitesis-pilkada-berintegritas
3 komentar
luar biasa tulungagung bro
hak e hak e hak e....
makin kondang
Silahkan berkomentar sesuai artikel diatas